Jatuh Bangun Abah Subakat: Bertahan Demi Keluarga di Bawah Terik Matahari
Kota Cimahi Suara Pakta.Com – Kehidupan tak selalu mudah bagi Abah Subakat, pria berusia 64 tahun yang kini menggantungkan hidupnya dari menjual rujak bebek di sudut-sudut Kota Cimahi. Teriknya matahari tak menghalangi semangatnya untuk terus bekerja, semua demi keluarga yang dicintainya.
"Alhamdulillah, walaupun kadang berat, saya harus tetap berusaha. Anak dan cucu saya butuh saya," ungkapnya dengan suara yang tegar, namun jelas tersirat kelelahan di matanya yang tua.
Perjalanan hidup Abah Subakat tak pernah lurus dan mulus. Sebelum menjadi penjual rujak, ia sempat merasakan pekerjaan lain yang jauh dari hingar-bingar dunia rujak. Ia pernah menjadi seorang sales elektronik dan menghabiskan empat tahun bekerja di bagian laundry di sebuah hotel di Jakarta.
Hotel Alexis, tempat ia bekerja, memberi kenangan manis sekaligus pahit dalam hidupnya. Namun, situasi ekonomi yang tak menentu membuat Abah harus beralih profesi.
Sebelum menemukan panggilannya sebagai penjual rujak bebek, Abah pernah berjualan es tebu—atau biasa disebut tiwu.
"Kalau musim hujan datang, jualan tiwu sepi sekali," kenangnya. Setelah lelah dengan ketidakpastian, ia pindah ke Garut dan belajar membuat rujak bebek, usaha yang akhirnya menjadi pegangan hidupnya hingga kini.
Di Subang, Abah pertama kali memiliki lapak rujaknya sendiri. "Lapak itu saya berikan kepada keponakan saya ketika saya pindah ke Cimahi," katanya dengan senyum tipis, Kamis (22/08/2024).
Meskipun ia baru lima bulan berjualan di Cimahi, Abah sebenarnya sudah berkeliling dari kota ke kota dengan gerobaknya. Dari Indramayu, Jogja, hingga Pekanbaru, Abah terus bertahan hidup dengan berjualan rujak, bahkan sempat terhenti akibat pandemi Covid-19.
"Tahun ini saya kembali ke Cimahi, di sinilah saya mencoba bangkit lagi," tuturnya. Setiap hari, ia berjuang untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Dari Senin hingga Jumat, penghasilannya rata-rata sekitar 400 ribu, sementara di akhir pekan bisa mencapai 600 ribu. Namun, modal yang dikeluarkan pun tidak kecil, mulai dari 200 hingga 400 ribu per harinya. Meski demikian, Abah tetap bersyukur atas apa yang didapatnya.
Dengan tiga anak dan tiga cucu yang menjadi alasan terkuatnya untuk bertahan, Abah tidak menyerah meski usia sudah senja.
"Selama saya masih kuat, saya akan terus berjualan," ucapnya dengan mantap. Kini, Abah tinggal di sebuah kos kecil di Bobojong, Kelurahan Utama, sambil terus memutar roda kehidupan di bawah terik matahari Cimahi.
Perjuangan Abah Subakat bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi juga tentang cinta dan tanggung jawab terhadap keluarga. Di balik setiap potongan buah yang ia siapkan untuk pelanggannya, tersembunyi kisah tentang pengorbanan seorang kakek yang rela melakukan apa saja demi mereka yang ia cintai. ( Monk)
Posting Komentar